Thursday, February 18, 2010

Lagi nggak sempat ngotak atik blog, jadi amburadul banget.............

Saturday, October 24, 2009

AGAR ANAK CEPAT HAFAL QUR'AN

Selepas terawih sambil menggendong bayi saya, saya sempatkan untuk nerusin ngetik sedikit tentang uneg-uneg masalah Indonesia-Malaysia yang dari kemarin nggak selesai karna setiap buka komputer pasti anak-anakku sudah langsung nyerbu rebutan make komputer, sibuk minta nonton kartun lah,nanya ini itu lah, liat foto lah....fuyoooohh. Sambil ngetik saya nyalain CD murotal al-Qur’an yg dilantunkan oleh suamiku, kebetulan sampai surat al-Waqiah. Zahra, anak sulungku asyik mainan boneka dibelakangku. Tiba-tiba ketika bacaan Waqi’ah sampai ke ayat kesepuluh Zahra nyeletuk membaca ayat kesebelas, “ulaikal muqorrobuun” dengan suara pelatnya. Kontan aku terkejut. Lho....dah hapal mendahului suara ayahnya...Mulutku masih menganga belum selesai terkejut Zahra dah ngeduluin dengan...“..Na’iim....” kemudian “...Waliin...”, “..Khoriin...”, “duunah...”, “Biliin...”, hafal ujung-ujungnya thok. Fatimah el-Zahra, 2,5 tahun, memang lagi penasaran-penasarannya liat sesuatu yang baru. Sampai saya kewalahan dan kadang jengkel dibuatnya. Saya nggak heran kalau sekarang dia dah hafal Fatihah, A-Z, one hingga twenty, wahid hingga ‘Asyrah, alif hingga ya, nama hewan dan buah-buahan..karna memang saya ajarkan. Tapi al-Waqiah...., saya nggak pernah ajarkan, karna saya fikir itu masih berat untuknya, saya akan ajarkan bertahap dikemudian hari. Sekedar hafal ujung-ujung ayat surat al-Waqiah memang bukan hal yang luar biasa. Tak sehebat Annisa Rania Putri anak Banjarmasin yang 9 tahun dah menguasai 5 Bahasa sekaligus, tidak sehebat Askrit Jaswal dari India yang menjadi mahasiswa dan dokter India termuda dalam sejarah, tak semencengangkan seperti Mozart yang telah mengcompose lagu pertamanya pada usia 5 tahun, tak seperti William James Sidis yang sudah dapat membaca pada usia 18 bulan. Pengalaman ini saya tulis bukan karena saya ingin membanggakan anak sendiri, ataupun ingin mengatakan bahwa Zahra hebat. Tidak. Zahra adalah anak biasa-biasa saja lumrahnya anak kecil sebayanya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa anak kecil ingatannya luar biasa. Jadi kita harus maksimalkan potensinya semaksimal mungkin. Pasti kita sudah berkali-kali membaca artikel tentang pertumbuhan otak bayi yang begitu cepat, sehingga proses dari 0-3 tahun disebut sebagai milestones atau tonggak bersejarah dalam perkembangan anak. Dia bagaikan sponge yang akan meniru dan menyerap apa saja informasi yang dia lihat ataupun dia dengar. Sehingga para peneliti Barat menganjurkan para ibu dari mulai hamil disuruh memperdengarkan musik Mozart ataupun Beethoven untuk mencerdaskan anak. Lantunan Al-Qur’an ternyata lebih bisa merangsang perkembangan otak dibandingkan Mozart ataupun Beethoven. Begitupun dengan Zahra. Pada bulan Ramadhan ini sambil mengetik saya selalu mendengarkan al-Qur’an dari komputer. Namun hanya Waqi’ah, Luqman, Sajdah dan al-Mulk yang sering saya dengarkan. Tanpa disadari, dari kebiasaan mendengarkan al-Qur’an itulah memori Zahra menangkap sedikit demi sedikit ayat-ayat dari surat-surat al-Qur’an tersebut. Mari sama-sama besarkan anak kita menjadi khalifah Allah yang sukses dengan berusaha untuk mencontohkan hal yang baik kepada anak kita dan hindarkan dari pengaruh negatif yang akan menjauhkannya dari Allah. Perdengarkanlah al-Qur’an sekerap mungkin kepada anak kita. mumpung otaknya tengah berkembang pesat maka biasakanlah sejak dini untuk memupuk minat belajar dan menghafal al-Qur’an. Seperti pepatah (dari Indonesia atau Malaysia saya tak tahu) “melentur buluh biarlah dari rebungnya”. yang bermaksud dalam membesarkan anak-anak perlu diasuh dan dididik sejak dari kecil atau dalam bahasa Inggerisnya "it’s better to bend the willow when it is young". Sesungguhnya hatinya bagaikan bening mutiara yang siap menerima segala sesuatu yang mewarnainya. Jika dibiasakan dengan hal- hal yang baik, maka ia akan berkembang dengan kebaikan, sehingga orang tua dan pendidiknya ikut serta memperoleh pahala. Sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan hal-hal buruk, maka ia akan tumbuh dengan keburukan itu. Maka orang tua dan pedidiknya juga ikut memikul dosa karenanya.Jadilah contoh muslim teladan bagi anak-anak kita.Tanamkan bibit agama agar dapat sukses dunia akhirat. Malam semakin larut, saya terus kletak kletuk memencet keyboard diiringi Zahra yang lagi ngafalin ujung surat Luqman. “Kafuur…syai’aa…ghoruur…, ghodaa…, khobiir…, shodaqallahul adziim”. Semoga Allah panjangkan umur kita nak…jadilah penghafal pengamal dan penebar al-Qur’an. (Saya sengaja tag kepada Bapak-Ibu agar semakin semangat dan tak putus aja mendidik putra-putrinya, juga kepada calon bapak yang sedang mencari calon ibu kepada anak-anaknya agar dapat mencari calon ibu yang dapat menjadi al-ummu al-madrasah, serta bagi para calon ibu yang sedang menanti datangnya jodoh agar cepat mendapatkan calon bapak yang dapat mendidik seisi keluarga. Amiin.) Oh ya, murotal al-Qur'an bacaan suami saya alunannya agak perlahan jadi sesuai untuk ingatan anak kecil, kalau ingin pakai boleh di download di link saya. Semoga menjadi amal jariah kami sekeluarga, Encik Isa sekeluarga dan Lensa Film yang bersusah payah merekamnya serta AJK Al-Amin yang mengedarkannya. Amiin

DAKWAH BERBASIS RISET

Tulisan yang sangat menarik untuk dibaca demi sinergisitas pengembangan ummat ke depan..... Rabu, 07 Oktober 2009 pukul 01:52:00 Oleh: Muhbib Abdul Wahab (Dosen Pascasarjana UIN Jakarta) Artikel Tarmizi Taher, 'Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat', yang dimuat harian ini pada Sabtu, 26 September lalu, cukup menggugah dan menarik. Menggugah pemikiran karena ada sejumlah ide yang 'memprovokasi' kita untuk bergerak dan beraksi memberdayakan masyarakat. Menarik karena ranah dakwah dibuka luas, tidak terbatas pada dakwah verbal dan dakwah aktual, tapi juga dakwah sosial dan dakwah kultural. Dakwah Islam sebagai 'aksi individual' sudah digeluti umat Islam Indonesia sejak awal masuknya di wilayah nusantara. Dakwah juga telah menjadi profesi yang hampir menyamai dunia keartisan. Tapi, dakwah sebagai aksi kolektif yang terprogram dan ter-manage dengan profesional tampaknya belum mendapat perhatian yang serius dari banyak pihak, termasuk kalangan akademisi Muslim. Dakwah di Indonesia juga belum dikembangkan sebagai ilmu secara optimal, meskipun di beberapa UIN dan IAIN, sudah berdiri Fakultas Dakwah. Oleh karena itulah, dinamika dakwah cenderung berjalan menurut 'selera pasar', bukan menurut paradigma keilmuan yang kokoh dan visi misi Islam sebagai rahmatan lil alamin . Para da'i, termasuk da'i selebriti atau selebriti da'i, cenderung mengedepankan penampilan sebagai intertainer, daripada menginternalisasika n pesan dan pelajaran substantifnya. Kultur masyarakat kita juga cenderung menyukai hiburan sehingga dakwah bernuansa hiburan atau hiburan yang dilabeli dakwah lebih marak daripada dakwah edukatif, humanis, dan inspiratif. Dakwah berbasis riset Tantangan dakwah di era globalisasi ini dipastikan semakin berat. Masyarakat dihadapkan pada pergeseran nilai akibat kemajuan sains dan teknologi. Materialisme, kapitalisme, sekularisme, permisivisme, liberalisme, dan hedonisme merupakan ideologi yang selalu mengepung dan meninabobokan pola pikir masyarakat. Sementara itu, lembaga pendidikan dewasa ini belum sepenuhnya berdaya dan berhasil membekali dan membentengi para peserta didiknya untuk menangkal dampak negatif dari pola pikir ideologi tersebut. Bahkan, sebagian lembaga pendidikan larut dalam apa sering disebut sebagai 'komersialisasi pendidikan' sehingga sebagian institusi pendidikan sudah berideologi kapitalis dan materialis. Sebagai negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, masyarakat Muslim Indonesia idealnya mampu menggerakkan roda dakwah komunal, bukan sekadar dakwah individual ke arah dakwah berbasis riset (DBR). DBR bukan sekadar menyampaikan dakwah kepada sasaran dakwah ( mad'u ), tapi merupakan dakwah yang dilandasi hasil-hasil riset, penelaahan, dan pengkajian materi dakwah secara akademik dan komprehensif. DBR didesain menurut teknologi dakwah: rancang-bangun dakwah yang bersendikan ilmu dakwah (dan komunikasi), materi, metode, dan media dakwah yang tepat dan efektif. Selain itu, DBR juga menghendaki standardisasi dan profesionalisasi, tidak sekadar keberanian tampil dengan modal seadanya dan tidak dilandasi hasil-hasil riset yang memadai. Standardisasi dan profesionalisasi dakwah boleh jadi menimbulkan kontroversi karena tugas 'berdakwah' itu pada umumnya dipahami sebagai hak publik (umat Islam). Namun demikian, sebagaimana sistem pendidikan, dunia dakwah juga harus dikelola dan dikembangkan menurut standar keilmuan dan profesi secara baik dan benar. Tujuan, kurikulum (kompetensi dan materi), pendekatan, metode, dan media dakwah perlu dirumuskan sesuai dengan kelayakan, kepatutan, dan kebutuhan. Untuk merealisasikan DBR, diperlukan adanya keseriusan berbagai pihak, terutama para da'i dan ilmuwan dakwah, untuk memetakan dan mendesain masa depan dakwah di Indonesia dengan mengoptimalkan fungsi lembaga dan fakultas dakwah sebagai pusat studi atau penelitian dan pengembangan dakwah Islam. Kolaborasi dan sinergi berbagai organisasi sosial keagamaan, seperti Muhammadiyah dan NU, dalam menata ulang sistem DBR menjadi sangat relevan dan strategis karena masing-masing organisasi tersebut memiliki dan membina segmen komunitas mad'u yang relatif tidak sama. Demikian pula, kerja sama yang berorientasi pada pengembangan riset dakwah antara perguruan tinggi Islam (Fakultas Dakwah) dengan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta perlu diinisiasi dan digerakkan. DBR adalah bank informasi dan materi dakwah amar ma'ruf nahi munkar sekaligus strategi dan media komunikasi bagi siapa pun yang menekuni dakwah. Sebagai bank, DBR harus mempunyai lembaga (wadah organisasi) yang menghimpun dan mengoptimalkan tenaga-tenaga peneliti dakwah dalam mengembangkan sumber daya dakwah, termasuk informasi dan materi dakwah. Sebagai strategi, DBR harus menjadi komitmen setiap da'i dalam menjalankan profesinya sebagai da'i. Dan, sebagai media komunikasi, DBR idealnya memainkan peran penting sebagai 'jembatan penghubung' antarkomunitas da'i dalam mengembangkan dan memutakhirkan materi, metode, teknologi, dan media dakwah. Pendidikan kemandirian Jika dicermati, aset dan sumber daya dakwah dewasa ini relatif cukup kaya. Khazanah dakwah mengenal model dakwah ESQ 165 Ary Ginanjar Agustian yang cukup sukses melatih dan melejitkan kecerdasan emosional dan spiritual para eksekutif, pegawai, dan berbagai kalangan terpelajar. Ada ustaz Jefri Al Buchori (Uje) yang terampil berdakwah di kalangan anak-anak muda dengan pendekatan popnya. Ada juga ustaz Yusuf Mansur yang sangat getol mengajak masyarakat untuk gemar bersedekah, dan menjadikannya sebagai langkah jitu untuk mengembangkan kemandirian ekonomi umat. Model dakwah AA Gym yang santun dan menyejukkan juga merupakan aset dakwah yang dapat memperkaya khazanah sumber daya dakwah. Ada pula Mario Teguh dengan model komunikasi dakwahnya yang cenderung menggunakan bahasa universal dan bahasa filosofis. Penting juga disebut di sini, Muhammad Syafi'i Antonio yang penguasaan materi dakwah dan kefasihannya berbahasa Arab (dan juga Inggris) perlu ditiru oleh da'i-da'i yang lain. Dan tentu saja, Pak Quraisy Shihab, dengan Tafsir al-Misbah -nya juga penting diteladani dalam pengembangan DBR. Semua da'i yang disebut di atas, dan masih banyak lagi termasuk kalangan da'i-da'i dari kalangan perguruan tinggi Islam dan organisasi sosial keagamaan, memiliki kekhasan dan kelebihannya sendiri-sendiri. Semua juga menempuh khittah -nya sesuai dengan 'pangsa pasar' masing-masing. Sungguh menarik dan strategis jika mereka semua bisa duduk bersama untuk menyinergikan segala potensi yang ada demi merancang masa depan sistem dakwah yang mampu melahirkan kemandirian umat, khususnya di bidang sosial ekonomi. Jika semua aset dan sumber daya dakwah tersebut dipertemukan dan disinergikan untuk mengembangkan model dakwah yang dapat memberdayakan masyarakat-- meminjam istilah Tarmizi Taher niscaya lokomotif dan bank dakwah di Indonesia akan semakin mampu menarik gerbong umat menuju kemandirian. Oleh karena itu, semua da'i perlu memahami dan mengaktualisasikan pendidikan kemandirian dalam aktivitas dakwahnya sehingga komunitas madu menjadi berdaya. Pendidikan kemandirian merupakan misi profetik para Rasul. Dengan modal dasar tauhidullah (pengesaan Allah), Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, misalnya, membebaskan masyarakatnya dari ketergantungan hidup kepada selain Allah. Dengan tauhidullah pula, masyarakat diserukan untuk tidak percaya kepada para dukun, tukang ramal, berhala politik, dan tuhan-tuhan palsu lainnya yang menyesatkan dan memperdayai. Jadi, tauhidullah harus ditindaklanjuti dengan tauhid al-ibadah (unifikasi ibadah) dan tauhid al-ummah (penyatuan umat) menuju pembentukan khaira ummah (umat terbaik) yang selalu tampil membela dan melayani kepentingan umat manusia. Sejujurnya, bangsa ini, khususnya umat Islam, belum sepenuhnya berkomitmen iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan) , sehingga terkadang mudah menggadaikan kemandiriannya kepada bangsa lain, lebih-lebih ketergantungannya kepada selain Allah.

MUNGKIN KANDUNGAN BABI SUDAH MENJALAR DALAM TUBUH KITA

Hidayatullah.com--Bagi mereka yang mengkonsumsi daging babi, ketika menikmati sepotong bacon sandwich, mungkin hanya sedikit yang bertanya-tanya kemana perginya bagian tubuh lain dari babi yang telah mengorbankan nyawanya untuk manusia itu. Seorang penulis yang penasaran, Christein Meindertsma, mencoba melacak kemana saja bagian-bagian tubuh babi itu pergi. "Seperti kebanyakan orang, saya hanya sedikit mengetahui apa yang terjadi setelah seekor babi meninggalkan rumah jagal. Oleh karena itu saya berusaha untuk mencari tahu. Saya mendatangi seorang teman peternak babi yang setuju mengizinkan saya untuk mengikuti salah satu dari hewan-hewannya." Dengan nomor identitas 05049 yang tertulis pada label kuning yang melekat di telinganya, perjalanan seekor babi berakhir dalam keadaan yang menakjubkan. Bagian-bagian tubuhnya digunakan paling tidak untuk 185 keperluan yang berbeda. Mulai dari pabrik permen dan shampo, hingga roti, body lotion, bir, dan peluru. Christein berkata, "Saya sangat terkejut ketika saya mulai mengetahui betapa luar biasa dan bervariasinya kegunaan dari seekor babi. Sepertinya pada masa sekarang ini, babi tidak lagi sekedar dipandang sebagai hewan , tapi lebih sebagai bahan baku mentah industri dengan jenis pemanfaatan berbeda yang jumlahnya tidak terbayangkan." Menurut catatan babi dengan nomor identitas 05049 yang diikutinya, sebanyak 4,9 pon dari total bobot tubuhnya 272 pon, digunakan untuk pembuatan permen kenyal. Sementara 4,8 pon digunakan untuk pembuatan permen liquorice. Dalam proses tersebut, kolagen dikeluarkan dari babi, kemudian diubah menjadi gelatin. Dari sini kemudian, penggunaannya dalam proses produksi makanan semakin beragam, terutama sebagai agen pembentuk gel. Meskipun tidak semua permen di Inggris mengandung gelatin babi, tapi banyak yang menggunakannya. Termasuk permen produksi Marks & Spenser yang sangat populer dan sesuai namanya, yaitu permen Percy Pigs. Tidak hanya permen yang mengandung gelatin. Dalam bir, anggur, dan jus, gelatin babi digunakan untuk menghilangkan warna keruh dari minuman. Gelatin itu bekerja sebagai agen pencerah, dengan cara bereaksi dengan tannin dalam cairan dan menyerap keruh. Sebagian eskrim, whipped cream, yogurt, dan juga mentega, mengandung gelatin. Demikian pula makanan hewan peliharaan. Yang lebih mengejutkan, sejumlah produk obat-obatan juga mengandung gelatin. Semuanya, mulai dari penghilang rasa sakit hingga multivitamin. Produk-produk kebersihan diri dan kecantikan, juga dibuat dengan bahan babi. Asam lemak dikeluarkan dari lemak tulang babi, yang digunakan dalam shampo dan conditioner untuk memberi efek tampilan yang bersinar, sepeti mutiara. Jenis asam ini juga bisa ditemui di sejumlah body lotion, alas bedak, dan krim anti kerut. Glycerin yang dihasilkan dari lemak babi, juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai macam produk pasta gigi. Christein yang berasal dari Belanda, adalakalanya bertemu dengan beberapa perusahaan yang enggan untuk membantu dalam petualangannya mengikuti perjalanan sang babi. Sebagian perusahaan lainnya menyatakan, tidak sadar jika produk mereka mengandung elemen yang diambil dari bagian tubuh babi, karena ada pihak antara yang terlibat dalam proses produksi dan distribusinya. Kebingungan konsumen juga tidak terbantu dengan hanya melihat label bahan pembuatan produk, karena tidak dijelaskan dari mana bahan-bahan itu diambil. Menurut Food Standards Authority, tidak ada kewajiban hukum bagi produsen untuk menyebutkan secara khusus, apakah gelatin yang mereka gunakan berasal dari babi atau hewan lain. Bila disebut secara khusus dengan sebutan suiline gelatin, seringkali membingungkan. Karena suiline bukanlah kata yang dikenal masyarakat umum (dalam bahasa Inggris). Menurut Richard Lutwyche, seorang peternak babi yang berpengalaman lebih dari 60 tahun, Ketua Traditional Breeds Meat Marketing Company dan seorang anggota dari British Pig Association, alasan terbesar dari kebingungan masalah produk babi ini karena kebanyakan peternakan babi berskala industri. "Di Inggris, peternakan komersial besar mengirim babi-babi mereka ke sejumlah rumah jagal besar. Tempat pejagalan yang akan menjual babi-babi itu ke pasar yang berbeda, berdasarkan produksinya," kata Lutwyche. "Apapun yang tidak bisa mereka jual, maka mereka harus membakarnya. Maka adalah demi kepentingan mereka, untuk menjual sebanyak mungkin yang mereka bisa." "Ada ungkapan lama yang mengatakan, 'bicara soal babi, Anda bisa memanfaatkan semuanya, kecuali bunyi jeritannya.' Selama lebih dari 100 tahun penggunaannya berkembang pesat," ujar Lutwyche. Yang mengejutkan, banyak produk lain yang juga dibuat dengan babi sebagai bahannya. Seperti negatif film yang menggunakan kolagen dari tulang babi. Sepatu yang menggunakan kulit babi dan lem tulang dari babi untuk meningkatkan kualitas bahan-bahan kulit lainnya. Serta cat yang menggunakan lemak tulang babi untuk memperkuat efek bersinarnya. Sebagian pabrik rokok menggunakan hemoglobin dari darah babi untuk membuat filter pada rokok. Lain kali jika membeli roti, mungkin Anda perlu melihat kemasan pembungkusnya. Sebagian produsen menggunakan L-cysteine, yaitu protein yang dibuat dari bulu babi atau hewan lain, yang berguna untuk melembutkan adonan. Penggunaan paling aneh dari babi yang berhasil ditemukan Christein adalah dalam pembuatan peluru dan bahan peledak. Gelatin tulang babi digunakan untuk memasukkan bubuk mesiu ke dalam peluru. Sulit rasanya untuk tidak terkesan dengan variasi dan fleksibitas dari hewan ini, yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan industri. Sepertinya tidak ada yang terbuang dari babi nomor 05049 itu. Moncongnya menjadi makanan camilan untuk anjing. Sementara kupingnya menjadi bahan percobaan dalam pembuatan senjata kimia, karena kesamaannya dengan jaringan kulit/daging manusia. Pembuat tato seringkali membeli potongan dari kulit babi untuk melatih keterampilan mereka, karena kesamaannya dengan kulit manusia. Alasan yang sama digunakan untuk mengobati pasien yang terkena luka bakar. Babi memberi kontribusi besar dalam bidang kedokteran, dengan insulin yang dihasilkannya, obat pengencer darah dari heparin dan katup jantung babi. Semuanya bisa dimanfaatkan. Berikut daftar penggunaan bagian-bagian tubuh babi dalam berbagai macam produk: 1. Ujicoba senjata kimia: karena kesamaan jaringan kulit /daging babi dengan manusia. 2. Eskrim: gelatin mencegah kristalisasi gula dan memperlambat proses pencairan. 3. Pupuk: dibuat dari bulu babi yang diproses. 4. Mentega rendah lemak: gelatin digunakan untuk memperbaiki teksturnya. 5. Bir: gelatin digunakan untuk mencerahkan warna minuman agar tidak keruh. 6. Pelembut pakaian: asam lemak dari tulangnya memberi warna 7. Kuas cat: dibuat dari bulu babi. 8. Jus buah: gelatin membuat warnanya tampak cerah. 9. Shampo: asam lemak dari tulang digunakan untuk membuat penampilannya terlihat seperti mutiara. 10. Lilin: asam lemak dari tulang memperkeras bahan lilin (wax) dan meningkatkan titik lumernya. 11. Roti: protein dari bulu babi digunakan untuk melembutkan adonan. 12. Peluru: gelatin dari tulang digunakan untuk mempermudah proses pemasukan bubuk mesiu ke dalam cangkang peluru. 13. Tablet obat: gelatin digunakan untuk pembungkusnya agar lebih keras. 14. Bubuk pembersih / deterjen: asam lemak dari tulang, digunakan untuk mengeraskan serbuknya. 15. Cat: asam lemak dari tulang digunakan untuk meningkatkan efek kilaunya. 16. Tamborin: dibuat dari kantung kemih babi. 17. Minuman anggur: gelatin menyerap elemen keruh sehingga membuat cairannya bening 18. Kertas: gelatin dari tulang digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan mengurangi kelembaban. 19. Heparin: digunakan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, diambil dari lendir yang ada di usus babi. 20. Sabun: asam lemak dari tulang digunakan untuk memperkeras dan memberi warna sabun. 21. Gabus: gelatin tulang digunakan untuk merekatkannya. 22. Insulin: diambil dari pankreas babi, karena hampir mirip dengan struktur kimia dalam tubuh manusia. 23. Yogurt: kalsium dari tulang babi ditambahkan ke dalam proses pembuatan yogurt. 24. Rokok: hemoglobin dari darah babi digunakan dalam pembuatan filter rokok yang diharapkan bisa mengurangi efek kimia yang masuk kedalam tubuh perokok. 25. Negatif film: gelatin tulang babi digunakan sebagai zat perekat pada lembaran film. 26. Makanan anjing: hemoglobin darah babi digunakan sebagai zat pewarna merah. 27. Terapi fotodinamik: hemoglobin digunakan dalam obat untuk merawat retina mata. Obat itu diaktifkan dengan menembakkan sinar laser ke dalam mata. 28. Pelembab: menggunakan asam lemak tulang babi. 29. Camilan anjing: moncongnya digoreng. 30. Krayon: asam lemak digunakan untuk mengeraskannya. 31. Sepatu / tas: lem tulang babi digunakan untuk meningkatkan tekstur dan kualitas kulit (hewan apapun). Di samping itu banyak juga sepatu yang terbuat dari kulit babi (bisa dilihat dari corak bintik pada kulit) 32. Rem kereta: abu tulang babi digunakan dalam proses produksinya. 33. Pasta gigi: glycerin babi digunakan utuk membentuk tekstur pastanya. 34. Lem transparan: lem sangat kuat yang digunakan dalam industri perkayuan, diturunkan dari kolagen babi. 35. Masker wajah: kolagen untuk menghilangkan kerut. 36. Energi alternatif: bagian-bagian sampah yang tersisa digunakan sebagai bahan bakar untuk listrik. 37. Energy bar: kolagen yang diproses merupakan sumber protein yang murah untuk para binaragawan atau mereka yang ingin membentuk tubuhnya. 38: Keju krim: gelatin menjadikannya stabil. 39. Whipped cream: gelatin memperbaiki teksturnya. 40. Permen: gelatin babi digunakan untuk bahan perekat dan pembuat gel, dan memastikan bahwa adonan permen mencapai tekstur tertentu. Sering digunakan untuk pembuatan jenis permen liquorice, permen kenyal dan permen karet. Bagi Muslim, orang vegetarian, Yahudi, dan orang-orang lain yang berharap bisa menghindari produk terbuat dari bahan babi, berita tentang penggunaan babi yang begitu luas bukanlah sebuah berita bagus. Kerja rumit yang harus dilewati oleh produsen makanan global dan proses industri, seakan memastikan bahwa hampir tidak mungkin menghindari babi sama sekali. Namun, bagi seorang Muslim ada kunci yang selalu harus diingat, yaitu bahwa yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang samar-samar atau syubhat. Maka barang siapa yang menjaga diri dari perkara yang syubhat, berarti ia telah selamat. [di/dm/www.hidayatullah.com]

Thursday, August 13, 2009

Antara Facebook dan Manusia Produktif

Kecanggihan teknologi informasi khususnya internet telah membawa kemajuan yang sangat pesat di seluruh aspek kehidupan. Berapa banyakkawan lama yang kembali bersilaturahim berkat situs jejaring rekaan Mark Zuckerberg bernama Facebook. Berapa banyak bisnis berjalan mulus dan berkembang berkat distribusi dan jaringan melalui internet. Berapa pula banyak orang yang menjadi religius berkat siraman rohani dari berbagai situs dakwah yang bertebaran di dunia maya.
Namun dibalik manfaat kecanggihan internet itu tidak sedikit pula mudharat yang bakal menimpa penggunanya. Edward Richardson, pria asal London, Inggris tega membunuh mantan istrinya. Penyebabnya hal sepele, yakni setelah mengetahui kalau mantan istrinya tersebut telah mengubah status ’single’ di Facebooknya. Tidak sedikit juga pengguna internet menjadi tidak produktif karena waktunya habis terbuang hanya untuk memperhatikan perkembangan Facebooknya.
Jika Facebook dan produk internet lainnya telah melalaikan dan menurunkan produktivitas kita sebagai seorang muslim itu tandanya kita harus waspada.Jangan sampai prestasi dan kinerja kita menurun karna di kantor hanya buka-buka facebook aja. Islam –dengan ke-syumul-annya– menawarkan konsep “manusia produktif” kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai ilahiyyah yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah.
Sekurang-kurangnya ada empat prinsip yang diutarakan sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.
Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah menuju kematian, akan tetapi menuju kehidupan yang abadi. Hidup merupakan ladang yang akan dituai hasilnya di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi penyeleksian manusia dari amalan-amalannya, dari produktivitasnya di pentas dunia. Mana di antara mereka yang tingkat produktivitasnya tinggi dan mana yang tidak.Allah swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56)
Apabila paradigma (cara pandang) terhadap Facebook dan produk internet lainnya sebagai sarana atau media yang memberikan kemudahan kepada kita untuk beribadah kepada Allah SWT maka peningkatan produktivitas kita akan mengalami lonjakan kenaikan yang tinggi karena media itu telah memberi banyak manfaat kepada kita, bukan menjadi sarana yang menjerumuskan kita kepada kesia-siaan, waktu yang terbuang dan berbagai kemudharatan lainnya.
Yang kedua, memelihara kunci produktivitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu tidak lain adalah hati”.
Hati merupakan “ruh” bagi semua potensi yang kita miliki. Jika hati kita bersih pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan hanya untuk melihat foto-foto orang lain, atau membaca komentar-komentar orang lain di Facebook. Jika hati kita bersih kita juga tidak akan berbuat iseng kepada orang lain dengan mengambil gambar orang lain untuk keperluan yang tidak bermanfaat.
Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi yang mendorong manusia untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas lagi. Produktivitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah sedikit demi sedikit. Dan tidak hanya itu, ‘amaliyah-nya (produktivitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan- kepentingan pribadi dan duniawi.
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Seorang sahabat pernah berkata: “Jika engkau di pagi hari maka janganlah menunggu nanti sore, dan jika engkau di sore hari maka janganlah menunggu waktu besok”. Prinsip “bergerak dari sekarang” ini menunjukkan suatu etos kerja yang tinggi dan hamasah (semangat) beramal yang menggebu-gebu. Seorang muslim sangatlah tidak pantas jika menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan Islam sangatlah mahal (oleh karena itu, dalam Al-Qur’an Allah swt banyak bersumpah dengan waktu), Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan” .
Dari prinsip ini, akan terlahir sosok-sosok manusia ‘amali. Manusia yang senantiasa menghiasi waktunya dengan produktivitas tinggi akan menjauhi hal-hal yang akan mengantarkannya kepada suatu yang sia-sia dan tak berguna. Apalagi menyibukkan waktunya untuk chatting yang tidak bermanfaat sampai melalaikan waktu shalat. Sosok muslim yang ideal telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, ia berkata: “Di antara tanda bagusnya Islam seseorang, ia senantiasa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.
Yang keempat, kontinuitas dalam beramal. Dalam Islam, masa produktif ialah sepanjang hayat, selama ia masih menghirup kehidupan, maka ia dituntut untuk terus beramal dan menjaga produktivitasnya, walaupun amalan itu dilakukan sedikit demi sedikit.
Dengan prinsip kontinuitas ini, maka Islam dapat menjaga kestabilan produktivitas seorang muslim. Islam tidak membiarkan seorang muslim beramal “besar” kemudian setelah itu padam dan surut kembali. Dorongan kontinyu (dawam) dalam beramal dengan bentuk ahabul a’mali ilallah (yang paling disukai oleh Allah) merupakan dorongan terbesar bagi setiap muslim untuk senantiasa terus produktif dan menjaga produktivitasnya.
Seharusnya kita dapat menjadikan Facebook dan media internet lainnya sebagai sarana untuk menyebarkan fikrah Islamiyah yang bersih. Satu saja orang bisa tersentuh cahaya Allah melalui tangan kita tentu akan melapangkan jalan kita ke surga.
Dunia dan segala apa yang ada di dalamnya hanyalah sarana yang akan menghantarkan kita pada perjumpaan dengan yang Maha Pencipta. Jangan terlalu dicinta yang membuat waktu kita habis bersamanya. Amatlah merugi jika sarana itu justru menghantarkan kita kepada kehinaan di neraka jahanam. Sebagai seorang muslim kita memahami bahwa hidup ini hanya sekali. Hiasilah ia dengan sikap produktif, kreatif, inovatif dan prostatic. Semoga kita semua menjadi manusia yang beruntung. Amin… (Yesi Elsandra)

Wednesday, August 12, 2009

The Root Causes of the Decline of the Muslim World

The Root Causes of the Decline of the Muslim World: An Educational Perspective

It is a well known fact that the decline of the Muslim world began with the fall of the mighty Ottoman Empire which had reigned supreme between the 14th and 17th centuries A.D. It was the dominant power in the world during this period. Experts and specialized scholars have identified the reasons of the decline of the Ottoman Empire.

Reasons of the annihilation of the Ottoman Empire:

SECTOR

WESTERN

MUSLIM

Millitary

Superiority on the battlefield with their better military strenght in terms of arms, ammunitions and techniques

Muslim armies remained stagnant and were utterly routed

Economic

strong

Dwindled

Knowledge

Started making great strides in acquisition of modern knowledge and began developing a dynamic modern educational system

Had uneven approach and the already weakened social structure weakened further.

Scientific and technological advancement

Forged ahead

Little or no contribution was made

These caused in the colonization of the muslim world. The entire muslim world was colonized with the exception of afghanistan, iran, saudi arabia and turkey.

External Factors for the Decline of the Muslim Ummah

1. Nationalism : an ideology which gives loyalty of man to land and community instead of God and religion, started cutting the Muslim unity and empires into pieces, whereby huge empires got fragmented into small nations sowing the seeds of disunity in the Muslim world. Islamic Ummatic identity was also replaced by national identities.

Muslim intelligentsia and elite who were mainly the products of modern secular Western education also came into the fold of nationalism and the spirit of nationalism spread like wild fire.

2. Secularism: giving man the right and choice of adherence to any religion but restricting the same to his personal life. Religion was completely insulated from political life. The ideology of secularism advocated disbelief in God and the hereafter and weakened the commitment of the Muslims towards their faith

3. Modernism : an ideology and a concept believes in change, and is always in search of something new. The features are rejection of religion, culture and tradition from public life and the promotion of supremacy of reason; reason and sense perception became the integral part of the process of modernization.

The Muslim elites receiving education in modern Western public schools, universities, and modern institutions emerged out with “modernism” deeply ingrained in their system and psyche. They became the perfect instruments of the British imperialism, and become a new class of Muslims inculcated with the spirit of nationalism, secularism, and modernism was created.

Internal Factors

Internal factors are more significant than external factor for declining muslim world. The Qur’an unequivocally states: Verily never will God change the condition of a people until they change what is in themselves. [13:11] There are namely: Lack of Mission of Islam; Lack of Vision of Islamic life; Lack of Ijtihadic and Dynamic Leadership; Lack of Rationality and Empirical Method; Lack of Creativity and Ijtihad

1. Lack of Mission of Islam

The message and mission of Islam have lasting bearings on the rise and fall of Islamic civilization and the Ummah.

The Prophet Muhammad, was not the first Messenger of Islam towards mankind. He did not bring any new Truth, Message or Guidance; he came with the same Truth, and was entrusted with the same mission and duty as were given to all the Messengers. God revived through him the same genuine faith [message] for humanity for the guidance so that humanity can lead a peaceful and prosperous life on earth.

Islam- the complete submission of man before God – is the one and only faith consistently revealed by God to mankind from the very beginning. Prophet Nuh, Ibrahim, Moses and Isa [Christ] peace be upon them,- who appeared at different times and places-all propagated the same faith-Islam.

In the sight of God there is only one system of life and way of conduct which is both in accord with reality and morally right. This consists of man’s acknowledgement of God as his Lord and the sole object of his worship and devotion; of surrendering himself unreservedly to God in obedience and service.

The mission of each Prophet, peace be upon him, was to call people to the right way of life, to communicate God’s true guidance afresh and to organize into one community all who responded to his mission and accepted the guidance vouchsafed to him. They were given such principles which, if followed, lead to man’s success and happiness.

2. Lack of Vision of Islamic life

Vision is needed because we want the good of this world and the next world, which depends entirely on the correct and true vision of life.

The Islamic vision of life is not based on conjecture; rather it is based on Knowledge, the Revealed Knowledge of the Quran and the Sunnah [the normative fundamental sources of Islam].

The Quran and the Sunnah contain the Shariah—the code of life. The Shariah explains the Divine and universal values upon which a healthy society is developed, along with human values.

Muslims instead of focusing on their civilization role as caliphs devoted more on the side of abd. They did not pay more attention towards the development of civilization. They ignored the duty of bringing development in human societies. Consequently, materialism emerged and spirituality disappeared from practical life.

Today Muslims do not have their own theory and model of development based on spirituality. In the Muslim world there is a strong desire to join the developed countries but unfortunately they are not aware of the criteria of development. Hence, they are imitating the modern Western models of development.

3. Lack of Ijtihadic and Dynamic Leadership

Ibn KhaldËn in al-Muqaddimah and Sayyid Mawdudi in The Islamic Movement: Dynamics of Values, Power and Change have contended that the rise and fall of nations and civilizations mainly depends on the role of leaders and scholars.

The social laws of society confirm that leadership, both intellectual and political, is responsible for the decline of a nation and civilization.

Development in the West is rightly attributed to the dynamic role of intellectuals and leaders, whereas the decline of the Muslim world is also associated with the traditional and imitative role of the Muslim intellectuals and leaders.

Development in the West is rightly attributed to the dynamic role of intellectuals and leaders, whereas the decline of the Muslim world is also associated with the traditional and imitative role of the Muslim intellectuals and leaders.

Development in the West is rightly attributed to the dynamic role of intellectuals and leaders, whereas the decline of the Muslim world is also associated with the traditional and imitative role of the Muslim intellectuals and leaders.

Zaiyad Ibn Hudayr related:

“Umar said to me, “Do you know what will destroy Islam?”

When I said that I did not, he said, “It will be destroyed by the mistakes of scholars, the arguing of hypocrites using the Book, and government by leaders who are in error.”

Prophet Muhammad, peace be upon him, is reported to have said,

‘There are two classes in my Ummah who, if they are right the Ummah will be set right; and if they go wrong the Ummah will go wrong: they are the rulers and the scholars.’

4. Lack of Empirical and Rational Approach

The Muslims distanced themselves from the Quran and the Sunnah, resulting in the weakness of their iman [faith] and slackness towards performance of their duties, and towards enjoining what is right and from stopping what is wrong.

The Qur’an said:

And hold fast all together by the Rope which Allah [stretches out for you] and be not divided among yourselves. [16]

· The Qur’an is replete with verses inspiring people to reflect and think in order to become wise and in order to understand and view life with a rational and empirical approach. Man has been admonished to travel, to observe, and to ponder over the stories of past nations, and communities, and the fate of those who disobeyed God and His Messengers, peace be upon them.

Instead of making proper use of of hearing, sight and heart for developing the social sciences, the human sciences, the technological sciences, and the applied sciences, the Muslims embroiled themselves in the futile polemics of “fatalism”.

They ignored in their studies the practical aspects of life and focused on metaphysical unreal issues. dractically they became theoretical and hard core realities were ignored.

5. Lack of Creativity and Ijtihad

The Muslims were generally complacent with the status quo. The Ummah was submerged in fatalism, superstitions, and rigidity. When there was no creativity, the need was not felt for either development or introduction of new institutions. The need for Ijtihad [the intellectual exertion], which was misunderstood to be confined only to the legal precepts of Islam, was also dispensed with.

Commentaries of the Qur’an began to be written to prod the Muslims to read and understand the Qur’an.Commentaries of the commentaries were then produced. However, no new theme or theory was developed for the Ijtihad to meet the exigencies of the times.

The Ijtihad, was instrumental for the development of the Ummah, was suspended resulting in deep stagnation, and constant decline. The Muslim mind had been insidiously secularized and Westernize